Jante Arkidam: Kisah Lolosnya Seorang Preman Buronan

Pernah suatu kali dalam sebuah perkuliahan, teman saya ditugasi untuk membacakan puisi Jante Arkidam oleh seorang dosen saya yang telah bertitel profesor. Ketika sampai pada bait, “Aku, akulah Jante Arkidam/Siapa berani melangkah kutigas tubuhnya/Batang pisang,/Tajam tanganku lelancip gobang/Telah kulipat rujibesi,” tiba-tiba Bapak dosen pun menyuruh dia untuk mengulangi pembacaannya. “Ulangi, harus lebih garang!”

Dan ketika sampai pada bait, “Jante tak kusua barang seorang/Masih samar, di lorong dalam” dan “Jangan hadang jalanku/Pasar kan segera usai!” sang guru besar kembali menyuruh teman saya untuk mengulangi pembacaan. “Ulangi, baca dengan nada suara wanita.”

Demikianlah sekelumit perkuliahan yang pernah saya alami. Perkuliahan ini terjadi ketika pada pertengahan tahun 2004. Sejak saat itu, saya menyadari bahwa di dalam semua karya sastra tersimpan jiwa yang harus dibangkitkan. Bila kita tak bisa membangkitkan jiwa tersebut maka pembacaan karya sastra hanyalah sekadar membaca biasa, tanpa penjiwaan.

Kembali pada puisi Jante Arkidam karya Ajip Rosidi. Ketika itu, muncul pertanyaan di benak saya, kenapa harus dibaca dengan nada demikian? Lantas, dosen yang kini menjadi pembimbing tugas akhir saya itu pun menjelaskan. Dan berikut ini adalah penjelasan beliau.

Jante Arkidam

(Karya Ajip Rosidi)


Sepasang mata biji saga
Tajam tangannya lelancip gobang
Berebahan tubuh-tubuh lalang dia tebang
Arkidam, Jante Arkidam

Dinding tembok hanyalah tabir embun
Lunak besi di lengkungannya
Tubuhnya lolos di tiap liang sinar
Arkidam, Jante Arkidam

Di penjudian, di peralatan
Hanyalah satu jagoan
Arkidam, Jante Arkidam

Malam berudara tuba
Jante merajai kegelapan
Disibaknya ruji besi pegadaian

Malam berudara lembut
Jante merajai kalangan ronggeng
Ia menari, ia ketawa

‘mantri polisi lihat ke mari!
Bakar mejajudi dengan uangku sepenuh saku
Wedanan jangan ketawa sendiri!
Tangkaplah satu ronggeng berpantat padat
Bersama Jante Arkidam menari
Telah kusibak rujibesi!’

Berpandangan wedana dan mantripolisi
Jante, Jante; Arkidam!
Telah dibongkarnya pegadaian malam tadi
Dan kini ia menari!’

‘Aku, akulah Jante Arkidam
Siapa berani melangkah kutigas tubuhnya
Batang pisang,
Tajam tanganku lelancip gobang
Telah kulipat rujibesi’

Diam ketakutan seluruh kalangan
Memandang kepada Jante bermata kembang
Sepatu

‘mengapa kalian memandang begitu?
Menarilah, malam senyampang lalu!’

Hidup kembali kalangan, hidup kembali
Penjudian
Jante masih menari berselempang selendang

Diteguknya sloki kesembilanlikur
Waktu mentari bangun, Jante tertidur

Kala terbangun dari mabuknya
Mantripolisi berada di sisi kiri
‘Jante, Jante Arkidam, Nusa Kambangan!’

Digisiknya mata yang sidik
‘Mantripolisi, tindakanmu betina punya!
Membokong orang yang nyenyak’

Arkidam diam dirante kedua belah tangan
Dendamnya merah lidah ular tanah

Sebelum habis hari pertama
Jante pilin ruji penjara
Dia minggat meniti cahya

Sebelum tiba malam pertama
Terbenam tubuh mantripolisi di dasar kali

‘Siapa lelaki menuntut bela?
Datanglah kala aku jaga!’

Teriaknya gaung di lunas malam
Dan Jante berdiri di atas jembatan
Tak ada orang yang datang
Jante hincit menikam kelam

Janda yang lakinya terbunuh di dasar kali
Jante datang ke pangkuannya

Mulut mana yang tak direguknya
Dada mana yang tidak diperasnya?
Bidang riap berbulu hitam
Ruastulangnya panjang-panjang
Telah terbenam beratus perempuan
Di wajahnya yang tegap

Betina mana yang tak ditaklukkannya?
Mulutnya manis jeruk Garut
Lidahnya serbuk kelapa puan
Kumisnya tajam sapu injuk
Arkidam, Jante Arkidam

Teng tiga di tangsi polisi
Jante terbangun ketiga kali
Diremasnya rambut hitam janda bawahnya

Teng kelima di tangsi polisi
Jante terbangun dari lelapnya
Perempuan berkhianat, tak ada di sisinya
Berdegap langkah mengepung rumah
Didengarnya lelaki menantang:
‘Jante, bangun! Kami datang jika kau jaga!’

‘Datang siapa yang jantan
Kutunggu di atas ranjang’

‘Mana Jante yang berani
Hingga tak keluar menemui kami?’

‘Tubuh kalian batang pisang
Tajam tanganku lelancip pedang’

Menembus genteng kaca Jante berdiri di atas atap
Memandang hina pada orang yang banyak
Dipejamkan matanya dan ia sudah berdiri di atas tanah
‘hei, lelaki matabadak lihatlah yang tegas
Jante Arkidam ada di mana?’

Berpaling seluruh mata kebelakang
Jante Arkidam lolos dari kepungan
Dan masuk ke kebun tebu

‘Kejar jahanam yang lari!’

Jante dikepung lelaki satu kampung
Dilingkung kebun tebu mulai berbunga
Jante sembunyi di lorong dalamnya

‘Keluar Jante yang sakti!’
Digelengkannya kepala yang angkuh
Sekejap Jante telah bersanggul
‘Alangkah cantik perempuan yang lewat
Adakah ketemu Jante di dalam kebun?’

‘Jante tak kusua barang seorang
Masih samar, di lorong dalam’

‘Alangkah Eneng bergegas
Adakah yang diburu?’

‘Jangan hadang jalanku
Pasar kan segera usai!’

Sesudah jauh Jante dari mereka
Kembali dijelmakannya dirinya

‘Hei lelaki sekampung bermata dadu
Apa kerja kalian mengantuk di situ?’

Berpaling lelaki ke arah Jante
Ia telah lolos dari kepungan

Kembali Jante diburu
Lari dalam gelap
Meniti muka air kali
Tiba di persembunyiannya.

______________

Alkisah, Jante Arkidam adalah seorang jagoan (atau bisa disebut preman atau residivis) yang sangat disegani dan ditakuti. Dia adalah momok bagi si kaya dan institusi penyimpan harta. Meski disimpan serapat mungkin, tapi usaha itu tak berguna, karena dialah Jante Arkidam.

Dia sangat sakti, terbukti dari penggambaran, “Tajam tangannya lelancip gobang.” Bahkan, “Dinding tembok hanyalah tabir embun. Lunak besi di lengkungannya. Tubuhnya lolos di tiap liang sinar.”

Dan pada suatu malam, beraksilah dia. “Malam berudara tuba. Jante merajai kegelapan. Disibaknya ruji besi pegadaian.” Setelah itu, dia pun berpesta pora sambil sesumbar memanggil-manggil mantripolisi dan wedana.

Dengan takut-takut, mantripolisi dan wedana saling berpandangan. Dengan sedikit tak percaya, mereka berkata, “Telah dibongkarnya pegadaian malam tadi/Dan kini ia menari!” Bahkan selanjutnya Arkidam malah balik menantang, “Aku, akulah Jante Arkidam. Siapa berani melangkah kutigas tubuhnya batang pisang. Tajam tanganku lelancip gobang. Telah kulipat rujibesi.”

Meski demikian, tak ada yang berani menangkapnya. Pesta dan perjudian pun tetap berlanjut dengan dimeriahkan tarian ronggeng. Sloki demi sloki minuman keras ditenggaknya. Hingga ketika dia telah mabuk dan tak sadarkan diri, barulah maling sakti itu diringkus.

Kala terbangun dari mabuk, mantripolisi telah berada di sisi kirinya. Kedua tangannya telah diborgol dan dia pun hendak dijebloskan di bui Nusa Kambangan. Dendam Arkidam pun memuncak kepada mantripolisi yang telah menangkapnya secara tidak jantan.

Namun, sebelum habis hari pertama, Jante pilin ruji penjara. Dia minggat meniti cahya. Dan tak berselang berapa lama, terbenam tubuh mantripolisi di dasar kali. Mati. Sambil berdiri di atas jembatan, Jante berteriak lantang memecah pekatnya malam, “Siapa lelaki menuntut bela? Datanglah kala aku jaga!”

Jante adalah orang yang ditakuti bagi para lelaki. Tapi bagi kaum hawa, dia adalah pujaan. Bahkan, tak terkecuali janda mantripolisi yang baru saja dibunuhnya. Entah kenapa, hati janda yang baru ditinggal mati itu melunak kepada pembunuh suaminya. Dia rela memberikan semuanya kepada Jante, tak terkecuali kehormatannya.

Malam merambat pelan. Jante tampaknya tak bisa nyenyak tertidur, walaupun ada yang menemaninya. Tiap kali bunyi lonceng dari tangsi polisi berdentang, dia selalu terjaga. Dan pada dentang yang kelima, Jante tergeragap. Janda mantripolisi yang menemaninya semalaman tak rebah di sisinya. Dia berkhianat. Senyampang kemudian, berdegap langkah mengepung rumah. Didengarnya lelaki menantang, “Jante, bangun! Kami datang jika kau jaga!”

Maka saling tantang pun terjadi di antara dua kubu. “Datang siapa yang jantan. Kutunggu di atas ranjang.”

“Mana Jante yang berani hingga tak keluar menemui kami?”

“Tubuh kalian batang pisang. Tajam tanganku lelancip pedang.”

Setelah itu, suasana berubah senyap. Tak ada satu pun pengepung yang berani masuk rumah. Malam makin mencekam bagi mereka. Dan tiba-tiba, pecah suara dari lain arah, “Hei, lelaki matabadak lihatlah yang tegas. Jante Arkidam ada di mana?’

Berpaling seluruh mata ke belakang. Ternyata Jante Arkidam telah lolos dari kepungan. Ia berlari memasuki kebun tebu. Maka, lelaki sekampung yang tadi mengepung rumah pun berlari mengejarnya. Mereka berbalik mengepung kebun tebu itu.

Di lorong dalam kebun tebu, Jante bersembunyi. Dengan kelihaiannya dalam menyamar, kini dia telah berubah bersanggul menjelma gadis yang catik. “Alangkah cantik perempuan yang lewat,” kata salah seorang lelaki, “Adakah ketemu Jante di dalam kebun?”

“Jante?” dia buka suara, “Tak kusua barang seorang. Masih samar, di lorong dalam.”

“Alangkah Eneng bergegas. Adakah yang diburu?”

“Jangan hadang jalanku. Pasar kan segera usai!” ucap Jante dengan nada wanita.

Jante pun dapat lolos dari kepungan. Bak lolos dari lubang jarum. Setelah jauh Jante melangkah, kembali dijelmakannya dirinya. Dia pun berteriak mengejek orang sekampung, “Hei lelaki sekampung bermata dadu. Apa kerja kalian mengantuk di situ?”

Mereka terperanjat. Lagi-lagi maling itu bisa dengan mudah melepaskan diri dari kepungan. Jante lari dalam gelap, meniti muka air kali, dan tiba di persembunyiannya.

_________

Nah rekan sekalian, mari kita mulai berdiskusi. Tuliskan tanggapan Anda terhadap parafrase di atas. Terima kasih.

Comments
18 Responses to “Jante Arkidam: Kisah Lolosnya Seorang Preman Buronan”
  1. nurrahman18 berkata:

    wah saya komen pertamaxxx 😀
    kadang beberapa kata dalam sastra, saya tak mengerti..mungkin dasar anak teknik tak pernah baca karya sastra, hehehe..dan di atas juga ada kata2 yg kurang saya mengerti,mesti buka KBBI doeloe, yakni
    -biji saga
    – gobang
    -tuba
    -kutigas
    -Digisiknya
    -hincit
    kemudian, saya masih belum bisa memahami ‘dialog’ dgn baik. maksudnya siapa yg ngomong, kemudian siapa selanjutnya dn setrusnya :D. karena sebagai awam, saya cuma memehami klo puisi di atas “diperankan” oleh beberap org yg saling beradu bicara.
    mungkin sebegitu dulu tanggapan saya kang….mohon pencerahan lebih lanjut 😀

    _________
    masdeewee njawab:
    untuk masalah kosakata, memang banyak istilah asing di dalam sebuah karya sastra. justru karena itulah membuat kita termotivasi untuk mengenali lebih jauh bahasa kita.
    nah, kalo masalah parafrasenya yg sulit dipahami, itu mungkin karena kekurangan saya dalam menjelaskannya.

    • ram berkata:

      Puisi Jante versi aslinya adalah bahasa sunda dan kemudian di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia, makanya kosa-kata yang sulit dimengerti dan tentu saja bhs yang bermuatan lokalitas, akan tetapi hal tersebut merupakan suatu cerminan identtas karya itu sendiri dan memperlihatkan kondisi keberadaan dimana peristiwa itu sendiri terjadi.

      puisi jante saya hanya bisa memberi komentar….
      “menyibak tabir kelam dalam kegamangan menuju kebenaran”

  2. sunarnosahlan berkata:

    penjelasan Mas Andi membuatku tak bisa komentar apa-apa

    ________
    masdeewee njawab:
    nah ini kan komentar pak… 😉

  3. membaca karya sastra penuh dengan penjiwaan…:)
    salam kenal…

    __________
    masdeewee njawab:
    terima kasih atas kunjungannya dan salam kenal juga

  4. Aldy berkata:

    Jujur saja mas, tidak setiap karya sastra membuat saya happy ada kalanya kening harus berkerut tajam.
    Tetapi untuk karyanya Ajib Rosidi saya bisa menikmatinya dengan catatan jangan pernah membacanya hanya sepotong, karena kita akan sesat.

    ________
    masdeewee njawab:
    betul pak Aldy, membaca sebuah karya harus secara total sehingga pesan yang didapat pun tidak akan sepotong-sepotong yang bisa mengakibatkan bias.

  5. greengrinn berkata:

    saya gak jago sastra! dan kebetulan saya belom pernah baca karyanyanya Ajib Rosidi 😆 sukses ya buat tugas akhirnya!!

    _________
    masdeewee njawab:
    terima kasih…

  6. nurrahman berkata:

    wah theme baru, sueger tenan 😀

    ________
    masdeewee njawab:
    hehehe… jadi keinget ketika kita pas sms-an kang….
    makasih, sekarang sudah bisa menampakkan gambar…

  7. nh18 berkata:

    Pada awalnya Puisi Ayib itu sungguh merupakan rangkaian kata-kata yang membuat benak saya dipenuhi imajinasi “liar”. Dan sedikit berusaha menarik benang merahnya … (namun jujur tidak berhasil …)

    Namun demikian …
    Setelah membaca pemaparan dari Mas Andi …
    Saya baru terdiam …
    Ada rasa lain yang menyergap benak saya …
    entah apa itu namanya …

    Sebut saja … Sebuah rasa yang bernama Keindahan Puisi
    Kekuatan dari seorang Ajip Rosidi

    Salam saya

    _________
    masdeewee njawab:
    terima kasih atas apresiasinya…

  8. nh18 berkata:

    Dan satu lagi …
    … Saya sangat suka tulisan ini Mas Andi …

    __________
    masdeewee njawab:
    sekali lagi, terima kasih….

  9. nakjaDimande berkata:

    hmm, Jante berarti bukan jelmaan PSH..
    Jante sekarang sedang kepanasan di Pekanbaru..!!!
    😉

    Akan aku ulang lagi membacanya nanti..

    _________
    masjante eh masdeewee njawab:
    sayangnya Pekanbaru dan Bukittinggi itu jauh….

  10. BlogCamp berkata:

    Membaca puisi tentu expresinya persis atau mendekati presis yang dimaksud oleh penulisnya donk mas.
    Kalau puisinya garang tapi yang membaca letoy kan kurang sip.
    Thanks atas tampilan puisi beserta kisahnya.

    Salam hangat dari BlogCamp yang sedang menggelar acara Liga Tertawa khusus blogger pemberani dan bernyali tinggi serta memilki sense of humor yang ciamik.

    ________
    masdeewee njawab:
    aduh maaf pakdhe, saya belum bisa berkontribusi dalam liga tertawa…
    sejak kemarin agak sibuk sih…

  11. guskar berkata:

    saya baru bisa simpulkan stlh membaca penjelasan mas andi. jante itu sakti, gagah, juga seorang penakluk wanita. suasana puisi di atas menyiratkan rasa kesal, marah dan ketakutan. apa krn jante nggak punya keluarga ya mas?

    __________
    masdeewee njawab:
    satu lagi pak, dia banyak akal, apalagi dalam hal meloloskan diri. wah kalo tentang keluarga, saya kurang tahu karena sepengetahuan saya tidak digambarkan di dalam puisi. mungkin ada rekan yg tahu?

  12. Kiran berkata:

    Kalau yg bc cew c02k nggak yha?

    Apa lagi, cew itu notabene tdk biza brsuara gahar..?!

  13. awalsuccess berkata:

    saya mah suka banget dengan jenis puisi begini..
    banyak inspirasi panggung

  14. Niskala berkata:

    “Arkidam”, kisah yg di sajikan dalam penggalan puisi oleh pak ayip rosidi, memiliki kesamaan kisah dengan cerita pengantar tidur waktu saya kecil dari kakek kandung saya yang asli kelahiran djatiwangi 1923 an. Sungguh arkidam legenda nyata yang mampu menorehkan garis bawah jelas dalam benak Orang orang dari masa nya.

  15. Ami berkata:

    Aya nu sundana?

  16. safinaahmadkhan berkata:

    Wah.. Aku pernah baca puisi ini waktu SMU. Keren banget.

Trackbacks
Check out what others are saying...
  1. […] terlihat pada foto di atas, bahwa artikel tamu kali ini ditulis oleh Jante Arkidam atau lebih dikenal dengan Andi Wicaksono atau bekennya Andi […]



Tinggalkan Balasan ke nurrahman18 Batalkan balasan