Goenawan Mohamad dan Asmaradana (Sebuah Renungan Kehidupan)

Jika ditanya apakah saya suka puisi maka akan saya jawab suka banget. Kadang saya bisa terdiam, tertawa, marah, atau bahkan menangis hanya kerena sebuah puisi. Apakah yang menarik dari kumpulan kata yang terserak itu? Esensi apa yang terkandung dari gabungan kata demi kata yang kadang sulit untuk dipahami itu? Untuk menjawab pertanyaan itu, pada artikel kali ini akan saya sajikan sebuah puisi yang sangat indah karya Goenawan Mohamad yang berjudul Asmaradana. Bahkan menurut dosen saya (dan pembimbing tesis saya :-)) Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., puisi itu adalah karya Goenawan yang paling bagus. Pokoke master piss lah.

________________________________________________________________

Asmaradana

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang

jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib,
perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan
mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani
lagi.

Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.
________________________________________________

Bagi Anda yang mengetahui Asmaradana pasti sudah tahu apa maksud puisi di atas. Asmaradana adalah sebuah tembang macapat (Jawa) yang menceritakan tentang kisah cinta antara Damarwulan dan Anjasmara. Dalam puisi di atas, tergambar sebuah fragmen ketika Damarwulan berpamitan kepada sang kekasih, Anjasmara, untuk berangkat berperang melawan seorang pengkhianat Majapahit, Menak Jingga.

Tergambar betapa syahdu dan haru suasana ketika itu yang terwakili dalam tiap bait puisi tersebut. Sebenarnya banyak yang ingin mereka ungkapkan. Entah tentang cinta, perpisahan, dan rasa sakit yang menyayat, “Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.”

Hingga akhirnya, kepergian Damarwulan itu disikapi dengan dingin kebekuan oleh sang kekasih, diam. Karena, “ia tahu perempuan itu tak akan menangis.” Tak ada gunanya menangis bagi sang kekasih karena itu takkan mengubah takdir, “bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara,” yang berarti bahwa berita kekalahan dan kematian akan datang (bagi orang Jawa [Islam], utara adalah lambang kematian. Contoh: wong mati mujur ngalor [orang meninggal dikubur membujur ke utara]) dia harus menerimanya dengan legawa.

Namun, apabila berita kemenangan yang datang maka dia harus rela melepas sang kekasih naik pangkat lalu pindah tugas di dalam kerajaan Majapahit serta dinikahkan dengan seorang gadis yang lebih terhormat. Hingga akhirnya, “ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi.” Bak buah simalakama.

Dan akhirnya Damarwulan pun hanya bisa berpesan:

Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.

Sebenarnya pesan yang tersirat dalam puisi tersebut tidak hanya renungan tentang hidup, mati, dan cinta semata. Selain itu tersirat sebuah amanat kepada kaum lelaki (khususnya) agar jangan terlalu terobsesi dengan pangkat, jabatan, dan gelimang dunia sehingga melupakan keluarga. Karena pada umumnya, semakin tinggi jabatan seseorang maka intensitasnya untuk bersama dengan keluarga akan semakin sedikit. Dan inilah kebanyakan pemicu keretakan rumah tangga.

Comments
10 Responses to “Goenawan Mohamad dan Asmaradana (Sebuah Renungan Kehidupan)”
  1. miaw miaw miaw berkata:

    wah so sweet…. iya memang bener bgt999…..

    sy juga suka dengan puisi…….=)

    makasih ilmunya

    ________________
    masdeewee njawab:
    hehehe ini cuma apresiasi puisi biasa mbak, anak SMA juga bisa kok kalo disuruh menafsirkan ini. Karena, ini materi apresiasi puisi untuk SMA.
    Kalo makasihnya, mending ucapkan langsung pada pak Goenawan, di http://goenawanmohamad.com/puisi/asmaradana.html

  2. vit berkata:

    Hmm .. apik n baguss kak Andiii !!
    (hehe ..)

    _____________
    masdeewee njawab:
    he’em, yg apik dan bagus puisinya kan. Emang puisi2 om Goen bagus2 kok. 🙂

  3. nurrahman18 berkata:

    aku pengen sekali buat puisi..bis angajarin privat ga? hehehehe

  4. vitriya berkata:

    … hehe .. di tunggu bukunya … ^_^ oke- oke?

  5. mblokodot berkata:

    ndi aku kirimi puisi konkrit sing apik, tak nggo mulang.

  6. nakjaDimande berkata:

    indah dan sarat makna, puisinya om Goen dan juga tulisannya mas Andi 🙂

  7. kristi kirana berkata:

    bagus banget… really really like it… sanget sanget remen…

  8. gyu berkata:

    nancep ya maknanya

  9. menjelajahruangimaji berkata:

    Reblogged this on Menjelajah Ruang Imaji.

  10. Memang sih, karya2 Goenawan Mohamad itu luar biasa dan tak lekang oleh waktu

Tinggalkan komentar