Sepedaku Hilang

mejeng

Ketika dulu saya masih duduk di bangku SD, saya pernah kehilangan sepeda onthel. Dan harus saya akui mungkin kehilangan ini adalah sebuah peringatan yang diberikan Allah kepada saya.

Kejadian itu terjadi pada saat saya duduk di bangku kelas 6. Ketika itu saya sangat suka bermain video game koin yang dahulu bertempat di dekat alun-alun kota. Bahkan, terkadang karena saking ngebetnya saya sampai nekad membolos tidak masuk sekolah (jangan ditiru ya adik-adik). Tentunya ketika itu, bapak ibu tidak tahu ulah buruk saya ini.

Tak jarang uang saku mingguan yang diberikan ibu bisa langsung habis hanya dalam beberapa hari saja. Jika sudah demikian, akhirnya saya ambil uang tabungan yang berada di bank. Hanya karena ingin main game.

***

Sore itu, saya hendak mengikuti les yang diselenggarakan oleh sekolah dalam rangka persiapan menghadapi EBTANAS. Tepat selepas Asar, saya berangkat dari rumah dengan mengendarai sepeda onthel kesayangan. Kebetulan ketika itu adalah musim penghujan. Gerimis menemani saya di sepanjang perjalanan. Meski demikian, saya tetap melaju mengayuh sepeda menerjang rintik hujan.

Sesampai di alun-alun kota tiba-tiba rintik hujan makin mengganas. Maka, terpaksa saya berteduh di emperan toko di sekitar daerah itu. Kebetulan letak arena bermain langganan dengan tempat saya berteduh tak terlalu jauh. Ketika berteduh menanti hujan reda itulah, tiba-tiba muncul pikiran liar, “Sambil nunggu, apa salahnya kalau disambi main video game?”

Akhirnya, ide itu pun saya laksanakan. Saya parkirkan sepeda di emperan arena bermain, masuk arena, menukarkan uang kertas seribu rupiah dengan recehan, dan masuklah saya di dunia virtual.

Waktu pun berlalu dan hujan telah mereda. Saya lantas melihat jam dinding. Pukul 16.00. Les sudah mulai pada pukul tersebut, tapi seharusnya saya masih bisa mengejar waktu karena jarak antara alun-alun kota dan SD saya hanya sekitar 10 menit kayuhan sepeda.

Namun, pikiran buruk tampaknya telah menguasai saya. Entah mengapa kaki ini terasa berat untuk dilangkahkan keluar dari arena bermain itu. Dan yang terjadi selanjutnya adalah saya kembali menukarkan uang seribu rupiah dengan recehan lagi. Saya memutuskan untuk membolos les.

“Toh tiap les paling isinya cuma latihan soal,” gumam saya mengentengkan.

Untuk menutupi tindakan ini maka saya sengaja pulang pada pukul 17.00, bertepatan dengan waktu pulang les. Berbagai jurus berkelit pun telah saya siapkan untuk esok hari, kalau-kalau ditanya ibu guru perihal alasan kenapa saya tidak masuk les. Cukup mudah, bilang saja hujan. Habis perkara.

Pukul 17.00. karena merasa telah cukup puas, saya langkahkan kaki keluar dari arena bermain. Saya berjalan menuju tempat parkir sepeda. Di sana masih berjejer banyak sepeda. Saya pindai satu per satu untuk mencari sepeda biru kesayangan yang dibelikan oleh bapak.

Beberapa detik kemudian, hasil pindaian saya tak menemukan hasil. Nihil. Namun, saya masih beranggapan mungkin mata saya kurang awas. Maka, selanjutnya saya pindai sekali lagi sambil berjalan mendekati satu per satu jejeran sepeda. Dan beberapa detik kemudian masih nihil juga, tak menemukan hasil.

Saya pun terdiam. Kemudian untuk ketiga kalinya, saya pindai kembali sambil membelalakkan mata. Dan hasilnya masih juga nihil.

Jantung saya mulai berdegup kencang tak karuan. Keringat dingin sedikit demi sedikit mulai menampakkan titik-titiknya. Saya berjalan menuju toko-toko yang berada di sekitar arena bermain. Saya pandangi satu per satu kendaraan yang diparkir di depan tiap toko. Jelas, ini adalah tindakan konyol, tapi siapa tahu memberikan hasil.

Namun, harapan itu sirna. Satu kompleks pertokoan telah saya perhatikan dan saya tak menemukan sepeda biru seharga 300 ribu rupiah (untuk ukuran sepeda pada tahun 1996, ini termauk sepeda mahal) hasil perasan keringat bapak itu.

Kembali teringat ketika saya dibelikan sepeda itu. Saya yang memilih sendiri, dan bapak tak sedikit pun protes karena harganya yang cukup mahal. Ketika itu bapak langsung setuju dengan berpesan, “Dirawat sing apik lho ya. Bar ditukokne sepeda, sinaune kudu tambah sregep (Dirawat dengan baik ya. Setelah dibelikan sepeda, harus lebih rajin belajar).”

Kemudian saya pun berlari kembali menuju arena bermain. Saya langsung lapor kepada mbak penjaga arena bahwa sepeda saya telah hilang. Oleh si mbak penjaga, saya langsung disuruh lapor ke pos satpam yang berada tidak jauh dari kompleks tersebut.

Beberapa menit kemudian, sampailah saya di pos satpam itu. Saya langsung disambut oleh seorang bapak. Kepada bapak itu saya ceritakan semua alur kejadiannya, walau agak terbata. Tak terasa, air mata menetes di sela kacaunya penjelasan saya.

Karena informasi telah lengkap diperoleh oleh pak satpam, selanjutnya saya pun diantar pulang oleh beliau dengan mengendarai motor pletuk merah yang jarang ditemui pada zaman sekarang. Sepanjang perjalanan, saya berkali-kali ditenangkan oleh beliau. Jujur, satu kalimat yang selalu saya ucapkan ketika itu adalah, “Pak, kula wedi diseneni ibu (Pak, saya takut dimarahi ibu).”

Ora popo, mengko tak ngomong bapak ibumumu yen ojo diseneni (Tak mengapa, nanti akan saya sampaikan pada ayah ibumu agar kamu jangan dimarahi),” jawabnya sambil berusaha menenangkan saya.

Hingga tak terasa, sampailah kami di rumah. Lamat-lamat terdengar azan Maghrib pertanda matahari telah tenggelam. Orang pertama yang keluar rumah adalah ibu. Dia agak terkejut melihat saya pulang dengan diboncengkan oleh seorang satpam. “Lho sepedamu ndi, Ndi (Lho sepedamu mana, Ndi)?”

Belum sempat saya menjawab, pak satpam langsung menyela. Beliau bertanya di mana bapak, karena dia baru akan menjelaskan setelah lengkap ada bapak dan ibu.

Bapak yang tadinya hendak bersiap shalat Maghrib pun akhirnya urung sejenak tuk menemui tamu berseragam satpam itu. Setelah lengkap, barulah bapak satpam itu mulai menjelaskan dan bercerita sesuai dengan apa yang telah saya ceritakan sebelumnya. Urut tanpa ditambah dan dikurangi.

***

Senja mulai berganti malam. Satu-satu lampu penerangan jalan mulai otomatis menyala. Beberapa orang berpeci dan bersarung telah pulang dari masjid selepas mendirikan jamaah shalat Maghrib. Bapak satpam yang telah berbaik hati mengantar saya pun telah mohon diri.

Bapak ibu hanya diam. Mereka lantas shalat berjamaah sendiri, sedangkan saya masih duduk membeku di ruang tengah. Selepas mereka shalat, barulah saya mendirikan shalat sendirian. Tak selang beberapa lama, kakak saya pulang dari kegiatan SMA-nya.

***

Insya Allah masih bersambung bung ….

NB: Bingung cari gambar yang pas, sementara saya kasih gambar itu aja. Masih dalam kondisi narsis gak ketulungan. Dianggep aja nyambung yak… 😉

Tuh sapa bilang saya cuma berani menampakkan punggung… 😛

(Gambar diambil di Perpustakaan Soeman HS Provinsi Riau)

Comments
19 Responses to “Sepedaku Hilang”
  1. nakjaDimande berkata:

    tuuhh onthelnya dah ketemu.. warnanya ijo persis kaosmu itu 😛

    salam buat Pak Satpam yang baikhati itu.

    _______
    masdeewee njawab:
    seingat saya biru deh bun, gak ijo… 😉
    masalahnya, gimana caranya agar bisa ketemu pak satpam itu, karena itu kejadian pada tahun 1996. selain itu, lingkungan sekitar alun2 sudah berubah total. sekarang kompleks tersebut telah berganti menjadi mall.

  2. zee berkata:

    Wah, saya udah penasaran ….
    Pak satpam yang baik.
    Tapi memang selalu ada kejadian yang buat kita menyesal seumur2….. kasihan bapakmu, itu sepeda mahal lhooo…. trus abangnya pulang, digebukin gak….. 😀

    ________
    masdeewee njawab:
    tunggu kisah selanjutnya…. 😉

  3. dafiDRiau berkata:

    dUH! mAS kok bersambung segala si….

    ________
    masdeewee njawab:
    biar mas dafiD penasaran…. 😛

  4. kyaine berkata:

    lha kok bingung ngasih gambar to mas..
    apa sebelum sepedanya hilang nggak difoto dulu?

    _______
    masdeewee njawab:
    kalo tau mo ilang udah tak poto dulu pak… bahkan sekalian malinge biar gampang kalo nyari… 😛

    • jumialely berkata:

      lagi nyari sepedanya yang ilang pak gus, mau di poto dulu baru dibalikin kemalingnya lagi

      *ngacir*

      __________
      masdeewee njawab:
      lha kok malah terus ngacir

  5. jumialely berkata:

    nyambung kok mas, lagi kebingungan nyari maling sepeda kan 😀

    ________
    masdeewee njawab:
    betul juga ya….
    ceritanya nyari sepeda sampe Pekanbaru Riau

  6. herryager1 berkata:

    Dasar malingnya aja gak punya sopan santun…coba klo mo ngambil sepeda itu bilang dulu…pasti digebukin rame-rame…hehehe…salam

    ________
    masdeewee njawab:
    betul mas herry….

  7. Ariyanti berkata:

    motor saya juga pernah hilang T_T…. nyarinya di dalam gedong sih… bukan di parkiran… jadi ga ketemu tuh sepedanya…

    _________
    masdeewee njawab:
    diikhlaskan ya mbak…. pasti ada gantinya yg lebih baik kok…

  8. Adi berkata:

    Walah kok 2b continue, hoho, pgalaman yg bgz, nice share n salam kenal.XD

    ________
    masdeewee njawab:
    terima kasih dan salam kenal balik

  9. sunarnosahlan berkata:

    pinjem fotonya onthel di tukang jual sepeda saja

    _______
    masdeewee njawab:
    hihihi… belum sempat pak…

  10. nurrahman berkata:

    sepertinya akan membuat cerbung ya kang?heheh

    ________
    masdeewee njawab:
    insya Allah mas…

  11. tonosaur berkata:

    wah bagus juga ceritanya..

    _________
    masdeewee njawab:
    terima kasih…

  12. nh18 berkata:

    Aduh …
    Pasti menyesal sekali …
    Sepeda yang relatif Mahal …
    Hilang ditempat “yang tidak semestinya”

    Yes indeed …
    ini pelajaran yang sangat berharga …

    Terus … kelanjutannya ..??

    saya tunggu ya mas Andi …

    Salam saya

    __________
    masdeewee njawab:
    tunggu saja kisah selanjutnya…

  13. sunflo berkata:

    lagi2 picna keren, kinclong.. apalagi tanemannya itu bikin aq idjooo… :mrgreen:

    ___________
    masdeewee njawab:
    taneman buatan itu mbak…

  14. Asop berkata:

    😥 Saya bisa mengerti rasanya takut seperti itu, mas… 😥

    Saya dulu waktu masih kecil juga pernah menghilangkan barang milik saya. Padahal saya tahu benda itu sulit untuk didapatkan… 😥

  15. Umi Nayirotin berkata:

    Enak jg dibaca pengalaman adik ini. Slmt smg jd penulis terkenal dik. Aamiin

  16. Dan 20 tahun berlalu dari tulisan ini, tepatnya saat pandemi Covid, sepeda benar2 menjadi hobi yang merakyat, meski harganya jadi tak merakyat

Trackbacks
Check out what others are saying...


Tinggalkan Balasan ke Adi Batalkan balasan